Dinamika Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia telah banyak memberi kontribusi yang nyata bagi masyarakat Indonesia. Banyak sekali tokoh tokoh nasional lahir dari rahim pesantren sebut saja misalnya , KH Ahmad Dahlan (Pendiri ormas islam Muhammadiyah), KH Hasyim Asyari (Pendiri ormas islam Nahdlatul Ulama ), Pangeran Diponegoro dan lain lain.

Bahkan spirit perjuangan melawan penjajah juga dari pesantren. Para santri dan Kyai ikut serta bergabung melawan penjajah, mereka berada di garda terdepan.

Trend hari ini para orang tua menyekolahkan anak anaknya ke lembaga berbasis pesantren setelah mereka merasakan berbagai dekadensi moral mewarnai sekolah sekolah umum. Mulai dari narkoba, pornografi, hingga pelecehan seksual terjadi. Akhirnya kesadaran berislam pun mulai tumbuh dari berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan bawah, menengah, hingga kalangan elit.

Dari realitas yang ada dunia pesantren pun menyambutnya dengan memodifikasi lembaganya. Sehingga munculah pesantren dengan keunggulan dan spesifik pada bidang bidang tertentu, ada pesantren yang unggul dalam bahasanya, dalam hal ini bahasa arab dan inggris, ada pesantren unggul di bidang pertanian, ada pula pesantren unggul di bidang IT nya. Ini sedikit banyak memberi corak dan warna bagi kehidupan pesantren.

Pesantren juga terkenal dengan kemandiriannya, hingga ketika dunia dihebohkan dengan krisis moneter dan lain sebagainya, ternyata pesantren mampu survive.

Mayoritas pesantren tidak menggantungkan biaya operasionalnya pada bantuan pemerintah, dalam arti kata pesantren mencari dana operasionalnya secara mandiri.

Perjalan pesantren dari masa ke masa berkembang sesuai situasi dan kondisi zaman yang melingkupinya. Berawal dari seorang ALIM ,atau KYAI yang mengajarkan ilmunya pada masyarakat ,hingga ramailah kajiannya ,masyarakat yang datang tidak hanya dari sekitar domisili KYAI tersebut, banyak pula yang dari luar kota.

Orang orang yang datang dari luar kota ini tentunya membutuhkan penginapan. Hingga dibuatlah bilik bilik di sekitar tempat tinggal sang KYAI. Dari sinilah sejarah pesantren. Seiring berjalannya waktu bilik bilik ini sudah tidak memadai hingga dibangunlah asrama asrama secara permanen.

Jadi yang membangun pesantren itu adalah SANTRI. Oleh karenanya jangan ada yang minder atau kurang PD apabila memiliki pesantren belum ideal infrastrukturnya. Karena pembangunan pesantren berjalan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan. Beginilah historis pesantren. Pesantren bukan hotel atau penginapan, hal mana pemilik membangun gedung lengkap sarana dan prasarananya, lalu menyewakannya. Pada mulanya pesantren yang ada model klasik atau salafiyyah, yang mana pada pesantren klasik tidak mengenal jenjang pendidikan, tidak ada batas waktu lamanya pendidikan, juga sistem pengajarannya bandongan serta sorogan.

Pada pesantren klasik tidak ada dapur umum, jadi santri berdikari masak sendiri karena tidak ada juru masaknya. Kyai merupakan sentral pengajar juga pemegang kebijakan tunggal dalam pentadbiran urusan pesantren secara umum.

Lalu munculah pesantren pesantren kholafiyyah atau ashriyyah (modern), pada pesantren modern sudah ada kurikulumnya, ada nilai pencapaian siswa, klasikal, ada batas waktu lamanya pendidikan pengambil kebijakan tidak tersentral pada pribadi tertentu, akan tetapi sudah terstruktur.

Ada Direktorium, ada Dewan Guru, Kesantrian, dan lain sebagainya, hanya saja akhir keputusan tetap di tangan Kyai sebagai kontrol misi visi pesantren. Adapun kurikulumnya ada yang berafiliasi ke DIKNAS (Departemen Pendidikan Nasional ) ada yang berafiliasi ke DEPAG (Departemen Agama) Ada pula pesantren yang membuat kurikulum sendiri.

Ada pula pesantren perpaduan keduanya, perpaduan klasik dan modern. Artinya ada pesantren yang tidak murni klasik juga tidak modern murni. Akan tetapi yang sangat disayangkan apabila perubahan perubahan ini menggeser nilai nilai yang sangat baku, yang mana apabila hal tersebut tidak ada ataupun hilang, hilang pula ciri khas pesantren.

Sebagaimana kita ketahui, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan islam yang mencetak ulama, pusat mendalami ulumuddin (tafaqquh fied din) minimal mampu membaca arab gundul dan menerjemahkan tulisan berbahasa arab.

Akan tetapi sangat disayangkan dalam perjalanan ada beberapa pesantren yang lemah dalam hal ini, karena terkalahkan pelajaran eksak, ataupun program program unggulan lainnya.

Hal ini perlu dikritisi, karena apabila ada alumni pondok pesantren tidak bisa berbahasa arab, tidak bisa membaca arab gundul, tidak bisa menerjemahkan tulisan arab, hilang sudah jati dirinya sebagai SANTRI.

Penulis mengkhawatirkan pesantren pesantren yang juga mengadopsi kurikulum nasional akan kurang matang dari kedua sisinya, yang mana secara ulumuddin mereka minus, sementara dari sisi pelajaran eksak mereka kalah dengan SMA umum.

Memang ada fenomena baru hari ini tentang harapan dan tujuan orang tua menyekolahkan ke pesantren, selain mereka faqih dalam urusan agamanya, juga tidak kalah dalam pengetahuan eksaknya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola pesantren, bagaimana mewujudkan idealism ini menjadi kenyataan.

Dan tentu saja ini sangat berat, bagaimana mengatur alokasi jam pelajaran yang proporsional, yang mana ulumuddin dikuasai, eksak juga dapat difahami.

Berlanjut Sebuah Alternatif Tarqiyyah Ilmiyyah Para Ustadazah Ummahat

Topik :
Pesantren

Terkait