Haditsul Ifki (Berita Dusta), Aisyah Radhiyallahu 'Anha Dituduh Berselingkuh - Part 1

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ>

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur: 11)

Ayat di atas seluruhnya diturunkan berkaitan dengan peristiwa yang menimpa Ummul Mukminin, ‘Aisyah RA. Yaitu saat orang-orang munafiqin, komunitas manusia pembohong dan pendusta, melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak benar dan ucapan-ucapan nista tentang pribadi ‘Aisyah RA. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Allah berkehendak untuk membersihkan pribadi ‘Aisyah RA dan menjaga martabat Rasulullah.

Allah menyatakan terbebasnya ‘Aisyah RA dari fitnah yang keji itu sebagai upaya memelihara kehormatan Rasulullah. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita yang bohong itu adalah dari golongan kamu juga.” Mereka itu bukan satu dua orang , tetapi berbentuk satu golongan, yakni sekelompok orang-orang munafiq. Provokator isu yang terlaknat ini adalah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, pentolan kaum munafiq Madinah. Dia-lah orang yang mengumpulkan orang banyak dan menghembus-hembuskan fitnah keji itu, hingga isu ini menyebar di kalangan kaum muslimin dan mereka membicarakannya. Bahkan sebagian dari mereka ada yang menanggapinya secara berlebihan.

Gelombang fitnah ini berlangsung selama satu bulan , hingga kemudian turunlah wahyu Al-Qur’an yang mensucikan pribadi ‘Aisyah RA. Peristiwa ini termaktub di dalam hadits-hadits shahih.

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Az-Zuhri, ia berkata: Aku telah menerima sebuah hadits dari Sa’ad bin Musayyab, ‘Urwah bin Az-Zubair, ‘Alqamah bin Waqqash dan ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud, tentang peristiwa ‘Aisyah, istri Nabi, ketika ia dituduh oleh para penyebar fitnah. Lalu Allah membebaskannya. Semuanya telah menceritakan kepada aku sebagian dari kejadiannya. Sebagian para Sahabat lebih menguasai alur kejadiannya dari sebagian yang lain, dan lebih mantap hafalan ceritanya. Aku (az-Zuhri) telah memahami semua hadits yang telah mereka ceritakan yang bersumber dari ‘Aisyah, satu sama lain saling menguatkan. Mereka mengatakan bahwa ‘Aisyah RA , istri Nabi SAW berkata: “Adalah Rasulullah SAW, bila hendak keluar menempuh perjalanan jauh, beliau selalu mengadakan undian kepada istri-istrinya. Siapa yang undiannya keluar, dia-lah yang berhak mendampingi beliau dalam perjalanan itu. Maka beliau pun mengundi siapa diantara kami yang akan menyertai beliau dalam sebuah peperangan yang akan di jalaninya. Dan ternyata yang keluar (pada saat itu) adalah namaku.”

Aku pun berangkat mendampingi Rasulullah. Peristiwa itu terjadi setelah turun ayat hijab (yakni di surat Al-Ahzab). Aku berangkat menaiki sekedup (semacam tandu kecil yang dipasang di punggung unta), berjalan dan menempuh perjalanan perang muroisi yaitu perang melawan bany mushtholiq. Setelah Rasulullah selesai berperang, dan beliau (beserta para prajuritnya) pulang kembali, dan kami pun telah dekat ke Madinah, maka beliau memberitahukan bahwa malam itu perjalanan akan diteruskan, mereka pun bersiap-siap melanjutkan perjalanan pulang.

Saat itu aku berjalan keluar hingga melewati tempat perkemahan prajurit (untuk buang hajat). Setelah aku selesai menunaikan hajat ku dan hendak kembali ke barak prajurit, aku meraba-raba leherku. Ternyata, kalung milikku yang terbuat dari marjan(mutiara) Zhafar (daerah di Yaman) terlepas jatuh. Aku pun kembali ke tempat semula untuk mencari kalung itu. Setelah itu aku pun kembali kepada rombongan prajurit yang bertugas membawa aku. Namun rupanya mereka telah menuntun unta yang membawa sekedupku. Mereka mengira aku berada di dalam sekedup itu.

Memang, wanita pada saat itu rata-rata memiliki berat badan yang ringan tidak gemuk. Mereka hanya makan sedikit saja. Jadi, tidak aneh bila prajurit itu merasakan ringannya tandu yang mereka angkat dan mereka letakkan di punggung unta. Terlebih lagi saat itu aku masih muda belia.

Akhirnya, mereka pun menuntun unta (yang membawa sekedup) dan melanjutkan perjalanan. Aku baru menemukan kalungku setelah para prajurit itu pergi. Maka ketika aku kembali ke barak perkemahan mereka, tidak ada seorang pun yang menjawab seruanku. Aku pun kembali menuju perkemahan yang aku tempati. Aku berharap para prajurit itu menyadari bahwa aku tidak ada di tandu dan segera menyusul aku. Ketika aku duduk di perkemahan ku itu, aku dilanda rasa kantuk hingga aku pun tertidur.

Saat itu, Shafwan bin al-Mu’aththal as-Sulami adz-Dzakwani juga mengalami nasib yang sama, tertinggal dari rombongan prajurit. Ia berjalan menghampiri perkemahanku dan melihat dari kegelapan ada sosok manusia yang sedang tertidur. Ia Pun menghampiriku. Dan disaat melihatku, ia mengenaliku, karena ia pernah melihatku sebelum turunnya ayat Hijab. Saat ia tahu yang tertidur itu aku, ia pun berteriak istirja’ (innaa lillaahiwa innaa ilaihi raaji’uun). Teriakan itu membuat aku terbangun dari tidur dan aku langsung menutup wajahku dengan jilbab.

Demi Allah, ia tidak sepatah kata pun berbicara dan aku pun tidak mendengar sepatah kata darinya selain kata istirja’-nya. Kemudian dia menderumkan untanya, lalu menjadikan kaki depan untanya mudah untuk ditunggangi dan aku pun menungganginya. Ia pun berjalan menuntun unta yang aku naiki. Hingga akhirnya kami berhasil menyusul para prajurit setelah mereka sampai (di Madinah), di waktu panas matahari yang sangat menyengat.

Celakalah akibat peristiwa yang menimpaku ini orang yang pantas celaka (yakni orang-orang Munafiq), dan orang yang sangat berperan dalam menyebarkan berita kebohongan itu adalah ‘Abdullah bin ‘Ubay bin Salul. (Ia adalah calon raja di Madinah dan masyarakat telah menyiapkan mahkota untuknya. Akan tetapi kondisi politik berubah dengan kedatangan Rasulullah beserta kaum muhajirin ke Madinah. Rasulullah penguasa tertinggi di kota Madinah, terlebih dengan dikukuhkannya piagam Madinah. Rasulullah tidak hanya pemimpin umat islam saja namun pemimpin masyarakat Madinah secara umum, bahkan beliau berhasil menyatukan 2 suku yang bertikai yaitu suku Aus dan Khazraj).

Maka kami pun datang ke Madinah. Setelah itu aku mengalami sakit selama sebulan, sementara orang-orang telah menyebarkan fitnah yang dihembuskan oleh para pendusta, sementara sedikit pun aku tidak merasa

melakukan apa yang mereka tuduhkan.

Rasulullah SAW pun seakan-akan meragukan sakitku, karena beliau tidak terlihat sehangat dan selembut biasanya, sebagaimana jika aku sakit. Yang dilakukan oleh beliau hanyalah masuk kamar, mengucapkan salam, kemudian bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Inilah yang membuat aku dicurigai, padahal aku tidak pernah merasa berbuat salah.

Setelah aku agak sembuh, aku keluar bersama Ummu Misthah menuju sebuah lapangan tempat buang air. Kami tidak pernah keluar kecuali malam hari. Itu terjadi sebelum kami membuat jamban dekat rumah kami. Maka aku pun pergi ditemani Ummu Misthah. Ia adalah putri dari Abu Ruhm bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf, sedangkan ibunya adalah anak dari Shakhr bin ‘Amir, bibi dari Abu Bakar as-Shiddiq RA. Ia memiliki anak bernama Misthah bin Utsatsah bin ‘Ibad bin ‘Abdul Muththalib.

Ketika aku dan Ummu Misthah kembali ke rumah, Tiba-tiba Ummu Misthah terpeleset, seraya berkata, “Celakalah kamu Misthah.” Aku berkata kepadanya, “Betapa jelek ucapanmu. Mengapa kamu mencela seorang pernah mengikuti perang Badar?” Ia menjawab, “Apakah kamu tidak mendengar apa yang dikatakan olehnya?” Aku berkata, “Memang apa yang ia katakan?” Maka Ummu Misthah pun mengatakan sesuatu kepadaku tentang kabar yang dihembuskan oleh orang-orang pendusta. Maka aku pun bertambah sakit.

Ketika aku sampai ke rumah, Rasulullah SAW memasuki kamarku sambil membaca salam. Kemudian beliau bertanya: “Bagaimana keadaanmu?” Aku balik bertanya, “Apakah engkau mengizinkan aku untuk bertemu dengan kedua orang tuaku?” Saat itu aku ingin mengkonfirmasi kabar berita itu dari kedua orang tuaku. Maka Rasulullah pun mengizinkan aku.

Saat aku tiba di rumah orang tuaku, aku bertanya kepada ibuku, “Wahai ibu! Apa yang dikatakan orang tentang kejadian itu?” Ia menjawab, “Wahai putriku sayang! Semoga kamu sabar menghadapinya (anggap ini masalah kecil). Demi Allah, jarang sekali seorang wanita cantik yang bersanding dengan orang laki-laki yang sangat mencintainya, sementara ia memiliki madu (wanita-wanita yang menjadi istri suaminya), kecuali akan memojokkannya”.

Aku berkata, “Subhaanallaah, sudah begitu menyebarnya kabar ini kepada semua orang.” Malam itu aku pun tidak henti-hentinya menangis sampai pagi. Air mataku tidak pernah berhenti keluar. Aku pun tidak bisa tidur. Kemudian paginya pun aku masih menangis.

Saat menanti kedatangan wahyu, Rasulullah memanggil ‘Ali bin abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid menyakinkan kepada Rasulullah tentang betapa istri-istri beliau itu terbebas dari perbuatan nista dan tentang betapa cintanya beliau terhadap semua keluarganya.

Usamah berkata, “Wahai Rasulullah! Mereka itu adalah keluargamu. Kami tidak mengetahui tentang mereka selain bahwa mereka itu orang-orang yang baik.”

Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah! Allah tidak pernah menyempitkan engkau. Wanita selain dia masih banyak. Jika engkau meminta seorang gadis jelita, engkau tinggal memberitahukan saja kepada mereka akan tetapi tanyalah Bariroh ia akan memberi engkau kesaksian.”

Kemudian Rasulullah memanggil Barirah. Beliau bertanya kepadanya, “Wahai Barirah! Apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigai dari ‘Aisyah?.”

Barirah menjawab, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa agama yang benar, aku tidak melihat sesuatu yang buruk darinya. Yang aku tahu, ia adalah gadis yang masih belia. Tidurnya pun masih di samping adonan roti milik keluarganya. Kemudian datang kambing jinak yang memakan adonan roti itu.”

Lalu Rasulullah SAW bangkit di hari itu dan menanyakan kepada ‘Abdullah bin Ubay bin Salul siapa yang akan membelanya dari Rasulullah (jika beliau akan menjatuhkan hukuman padanya). Beliau bersabda, “Wahai sekalian kaum muslimin! Siapa diantara kalian yang mendukung aku menghadapi seorang laki-laki yang telah menyakiti ahli baitku? Demi Allah, tidak ada yang aku ketahui dari istriku kecuali kebaikan. Sungguh mereka juga menuduh seorang laki-laki yang aku hanya mengetahui sisi kebaikan dari dirinya (maksudnya, Shafwan). Dan tidak pernah masuk ke rumah istriku melainkan bersamaku.”

Saat itu Sa’d bin Mu’adz al-Anshari berdiri seraya berkata, “Aku mendukungmu untuk menindak laki-laki itu wahai Rasulullah! Bila ia dari golongan Aus (kabilahnya), niscaya kami akan menebas batang lehernya. Namun jika ia dari golongan Khazraj saudara kami, engkau tinggal memerintahkan saja kepada kami. Kami akan melaksanakan perintahmu.”

Saat itu Sa’d bin Ubadah, pemuka suku Khazraj yang salih, -namun merasa panas dengan ucapan Sa’d bin Mu’adz- berdiri sambil berseru kepada Sa’d bin Mu’adz, “Demi Allah! Kamu tidak boleh membunuh orang Khazraj itu dan tidak akan dapat membunuhnya.”

Sejurus kemudian berdirilah Usaid bin Hudhair, sepupu Sa’d bin Mu’adz, sambil berkata kepada Sa’d bin ‘Ubadah, “Kami akan membunuhnya. Engkau adalah orang munafiq yang hanya membela orang-orang Munafiq?.”

Maka suasana pun memanas antara kabilah Aus dan Khazraj. Hampir saja mereka saling bertempur. Menyaksikan itu Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar. Rasulullah SAW tidak henti-hentinya mendinginkan suasana panas di antara mereka, dan akhirnya mereka pun diam. Rasulullah SAW pun terdiam.

Pada hari itu, tak henti-hentinya air mataku mengalir dan tidak bisa tidur. Kedua orang tuaku mengira bahwa tangisan itu akan membelah hatiku. Di saat keduanya duduk di sampingku yang sedang menangis, tiba-tiba seorang wanita Anshar meminta izin untuk menjengukku. Aku pun mengizinkannya. Ia masuk ke dalam kamarku seraya menangis bersamaku.

Saat kami menangis, tiba-tiba Rasulullah SAW masuk ke ruangan kami sambil mengucapkan salam. Kemudian beliau duduk. Beliau belum pernah duduk di sampingku semenjak fitnah itu merebak di kalangan manusia. Beliau telah menanti selama satu bulan, namun tidak ada sedikitpun wahyu yang turun menjelaskan tentang aku. Di saat duduk, beliau membaca syahadat, kemudian bersabda, ammaa ba’du

“Wahai ‘Aisyah! Telah sampai kepadaku kabar ini dan itu tentang dirimu. Jika engkau bersih dari itu semua, niscaya Allah akan membersihkanmu. Namun jika engkau melakukan dosa itu, maka mintalah ampunan kepada Allah, kemudian bertaubatlah. Karena seorang hamba, bila telah mengakui dosanya kemudian ia bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubatnya.”

Setelah Rasulullah menyampaikan sabdanya, maka air mataku mengering, hingga aku tidak mendapatkan satu tetes pun yang jatuh. Aku pun berkata kepada ayahku, “Wahai ayah! (karena engkau dipercaya oleh Rasulullah SAW) katakan sesuatu tentang aku kepada Rasulullah (yang membebaskan aku dari tuduhan ini).” Ia menjawab, “Demi Allah! Aku tidak tahu (apa yang aku katakan kepada Rasulullah).” Aku berkata kepada ibuku, “Wahai ibu! Katakan sesuatu kepada Rasulullah (yang membebaskan aku dari tuduhan ini)!” ia menjawab, “Demi Allah! Aku tidak tahu apa yang mesti aku katakan kepada Rasulullah.”

Saat itu aku yang masih sangat belia dan belum banyak menghafal ayat al-Qur’an berkata-, “Sungguh, aku tahu kalian telah mendengar kabar (dusta) itu hingga masuk meresap ke dalam hati kalian, dan kalian membenarkannya. Seandainya aku mengatakan kepada kalian bahwa aku bersih dari tuduhan itu (dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melakukannya), niscaya kalian pun tidak akan mempercayaiku.dan seandainya aku mengakui kepada kalian tentang tuduhan itu dan Allah maha tahu bahwa aku tidak pernah melakukannya niscaya kalian pun akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak menemukan sebuah sikap yang tepat untuk kalian, selain ucapan yang dikemukakan oleh ayah Nabi Yusuf (yakni Nabi Ya’qub),

“Maka hanya bersabarlah itulah yang terbaik bagiku. Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan.”

Kemudian aku berpaling dan tidur di tempat tidurku. Demi Allah, saat itu aku yakin bahwa aku bersih dari itu semua, dan aku yakin Allah akan menunjukkan kesucianku. Namun Demi Allah, aku tidak menyangka akan turun wahyu yang menjelaskan tentang kesucian aku, karena aku merasa aku ini manusia hina, tidak akan turun wahyu Allah menjelaskan tentang yang aku hadapi. Aku hanya berharap Rasulullah bermimpi dengan impian yang menggambarkan bahwa Allah akan membebaskan aku dari fitnah itu.

Demi Allah! Rasulullah tidak berpisah dari tempat duduknya dan tidak ada seorangpun ahli baitnya yang keluar rumah, hingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Seperti biasanya, di saat wahyu turun, suhu beliau panas tinggi dan mengucurlah keringat seperti permata dari tubuh beliau, padahal beliau berada di musim dingin, hal itu disebabkan beratnya firman Allah yang diturunkan kepada beliau. Ketika wahyu telah turun, beliau pun tersenyum. Kabar yang beliau sabdakan adalah,

“Wahai ‘Aisyah! Bergembiralah, karena Allah ‘azza wajalla telah membebaskanmu dari tuduhan itu.”


Bersambung…

Topik :
Muslimah

Terkait