Haditsul Ifki (Berita Dusta), Aisyah Radhiyallahu 'Anha Dituduh Berselingkuh - Part 2

Lanjutan dari Part 1

Ibuku berkata, “Berdirilah kamu, hampiri Rasulullah!” Aku menjawab, “Demi Allah! Aku tidak akan berdiri menghampirinya dan aku tidak akan memuji kecuali kepada Allah. Dia-lah yang telah menurunkan ayat tentang kesucianku.” Maka Allah pun menurunkan firman-Nya:

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ>

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar."

لَّوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ ظَنَّ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمۡ خَيۡرٗا وَقَالُواْ هَٰذَآ إِفۡكٞ مُّبِينٞ>

“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS An Nuur :12)

Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?

Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta. Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.

(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar. dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar.”

Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. dan Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar)

Adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, selama ini ia selalu memberikan shadaqah kepada Misthah bin Utsatsah, karena ia tergolong kerabatnya yang miskin. Setelah turun ayat ini, ia berkata, “Demi Allah! Aku tidak akan mengeluarkan shadaqah sedikit pun kepadanya, setelah aku tahu ia mengatakan sesuatu yang tidak pantas tentang ‘Aisyah RA.” Maka turunlah ayat:

وَلَا يَأۡتَلِ أُوْلُواْ ٱلۡفَضۡلِ مِنكُمۡ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤۡتُوٓاْ أُوْلِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ>

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah kepada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22)

Kemudian Abu Bakar berkata, “Demi Allah! Aku sangat suka bahwa Allah mengampuni aku.” Selanjutnya ia pun melanjutkan kembali shadaqah kepada Misthah, sebagaimana yang selama ini aku lakukan. Abu Bakar berkata, “Demi Allah! Selamanya aku tidak akan menghentikan shadaqah aku kepada Misthah.”

Ibnu Syihab berkata: inilah akhir dari kisah yang telah sampai kepada kami tentang para penyebar kabar bohong itu. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab ash-Shahiih mereka dari hadits az-Zuhri. Demikian pula, Ibnu Ishaq, ia meriwayatkan hadits ini dari az-Zuhri. Az-Zuhri berkata, “Kami meriwayatkan hadits ini dari Yahya bin ‘Ibad bin ‘Abdillah bin az-Zubair dari ayahnya dari ‘Aisyah RA.” Az-Zuhri kembali berkata, “Kami meriwayatkan hadits ini dari ‘Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm al-Ashari dari ‘Amrah dari ‘Aisyah RA dengan teks hadits yang hampir sama dengan yang telah disebutkan.” Wallahu a’lam

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong,” dusta atau dibuat-buat, itu kelompok kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu,” –wahai keluarga Abu Bakar!- “Bahkan ia adalah baik bagi kamu,” di dunia maupun di akhirat. Di dunia dinyatakan sebagai manusia yang perkataannya selalu benar dan di akhirat mendapat derajat yang tinggi.

Hal ini diikuti dengan di tampakannya kemuliaan keluarga besar Abu Bakar, dengan sebab betapa pedulinya Allah kepada ‘Aisyah RA, Ummul Mukminin, hingga Allah sendiri yang menjelaskan tentang kesucian ‘Aisyah dari fitnah di dalam al-Qur’an yang agung, yakni kitab, “Yang tidak datang kepadanya kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42) oleh sebab itu, ketika Ibnu ‘Abbas RA masuk ke ruangannya, dan ‘Aisyah sedang menghadapi sakaratul maut, Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya,

“Bergembiralah! Karena engkau adalah istri Rasulullah. Beliau sangat mencintaimu. Beliau tidak menikahi perawan kecuali hanya kepadamu. Dan Allah menurunkan al-Qur’an tentang kesucianmu.

Kemudian Allah berfirman, “Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.” Maksudnya, setiap orang yang membicarakan masalah ini dan menuduh Ummul Mukminin ‘Aisyah RA telah melakukan perzinaan, mereka pasti akan mendapatkan siksaan yang sangat besar. “Dan barangsiapa diantara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya).” Menurut suatu pendapat, maksudnya adalah orang pertama yang memunculkan gelombang fitnah ini. Sedangkan menurut pendapat yang lain, maksudnya adalah orang yang menghimpun, menambah-nambahkan (beritanya) dan menyebarkan fitnah yang keji, “Dia mendapatkan azab yang besar” atas perbuatannya ini. Ia adalah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Semoga Allah mencela dan melaknatnya.

لَّوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ ظَنَّ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمۡ خَيۡرٗا وَقَالُواْ هَٰذَآ إِفۡكٞ مُّبِينٞ ١٢ لَّوۡلَا جَآءُو عَلَيۡهِ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَۚ فَإِذۡ لَمۡ يَأۡتُواْ بِٱلشُّهَدَآءِ فَأُوْلَٰٓئِكَ عِندَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡكَٰذِبُونَ>

“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”(QS.24: 12) “ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.” (QS.24: 13)

Pada peristiwa ‘Aisyah RA ini terdapat pelajaran berharga dari Allah terhadap orang-orang mukmin yang sebagiannya terhasut oleh provokasi dan fitnah keji itu, yaitu berita yang berisi tuduhan terhadap Ummul Mukminin- mengapa mereka tidak membayangkan bila kabar berita yang berisi tuduhan keji itu menimpa diri mereka masing-masing. Bila mereka merasa bahwa perbuatan zina tidak pantas mereka lakukan, maka terlebih lagi bagi Ummul Mukminin, ia lebih suci dan lebih tidak pantas lagi melakukannya.

Menurut satu pendapat, firman Allah diatas merupakan ucapan yang juga pernah juga di ucapan oleh Abu Ayyub khalid bin Zaid al-Anshari dan istrinya ra. Hal ini termaktub pada riwayat Muhammad bin Ishaq bin Yasar bahwa Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshari RA pernah ditanya oleh istrinya, Ummu Ayyub, “Wahai Abu Ayyub! Apakah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang ’Aisyah RA?” Ia menjawab, “Iya, tapi omongan itu bohong. Apakah kamu pantas melakukan zina, wahai Ummu Ayyub?” Ummu Ayyub menjawab, “Tidak, Demi Allah, aku tidak (pantas) melakukannya.” Abu Ayyub berkata, “Demi Allah, ‘Aisyah RA lebih baik dari pada kamu (maka lebih tidak pantas lagi).”

Ketika turun ayat ini, Allah menyebutkan orang-orang yang mengatakan tuduhan keji dari kalangan orang-orang yang suka menyampaikan berita dusta;. mereka itu adalah Hassan dan teman-temannya, yang telah menyampaikan kabar berita dusta tersebut.

“Mengapa waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata : ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Sebagaimana yang dikatakan oleh Ayyub dan istrinya mengapa mereka tidak berbaik sangka, padahal Ummul Mukminin tergolong ahlu khairat (orang-orang yang selalu berbuat baik) dan ia justru lebih utama dalam sisi kebaikan dari pada mereka. ini adalah perbuatan hati. “Dan mereka berkata” Yakni perbuatan (perkataan) lidah mereka “Ini adalah (sebuah berita) bohong yang nyata.” Maksudnya, mengapa mereka tidak mengatakan bahwa tuduhan atas diri Ummul Mukminin ini adalah kebohongan yang sangat nampak. Hal ini terlihat dari detail kejadiannya yang tidak mencurigakan, sehingga tidak perlu disangka buruk seperti itu. Ummul mukminin saat itu secara terang-terangan menaiki kendaraan milik Shafwan bin al-Mu’aththal, dan pada waktu yang terang-terangan pula (siang hari). Semua prajurit, secara jelas menyaksikan itu semua, sementara Rasulullah sendiri berada diantara mereka. Jika kejadian ini menimbulkan kecurigaan atas apa yang mereka perbuat, niscaya mereka (‘Aisyah dan Shafwan) tidak akan melakukan perjalanan seperti tadi secara terbuka dan disaksikan oleh banyak orang. Jika mereka berbuat mesum, pastinya mereka akan menyembunyikan diri dari khalayak ramai.

Jadi jelaslah, bahwa kabar yang dihembuskan oleh orang-orang yang berlidah dusta sehingga mengoyak kehormatan Ummul Mukminin, adalah omong kosong, murni bohong, ucapan yang palsu, kata-kata keji dan kotor serta pernyataan yang merugikan (diri sendiri dan orang lain).

Selanjutnya Allah berfirman, “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?” Yakni, empat saksi yang menguatkan kebenaran apa yang mereka sebarkan. “Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.” Yakni dalam hukum Allah, mereka adalah para pendusta 4_: 15)_

Allah berfirman, “Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan diakhirat.” Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang terbawa arus berita bohong tentang diri ‘Aisyah. Dan karunia yang mereka terima adalah taubat mereka di dunia dan memaafkannya dosanya disebabkan keimanan mereka terhadap negeri akhirat. Seandainya tidak ada rahmat, “Niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong.” Ayat ini berlaku bagi mereka yang memiliki iman. Maka Allah memberikan karunia yang berupa dibukakannya pintu taubat disebabkan keimanan mereka. Mereka itu diantaranya Misthah,Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy, saudara perempuan Zainab binti Jahsy.

Adapun para penyebar fitnah dari kalangan munafiqin seperti ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, berikut para pengikutnya, mereka tidak tergolong orang-orang yang diserukan oleh ayat ini. Karena mereka tidak memiliki iman dan amal shalih yang menjadi penyeimbang dari karunia Allah ini. (kaidahnya), semua karunia yang berupa taubat dari seorang muslim (karena melanggar ancaman Allah), akan terlimpah manakala ia memiliki iman dan amal shalih yang nilainya setara dengan karunia itu.

“(Ingatlah)di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut.” Mujahid dan Sa’id bin Jubair berkata, “Maksudnya,ketika sebagian kamu menyampaikan ucapan bohong dari sebagian yang lain.” Yakni, seseorang mengatakan; saya telah mendengarnya dari fulan. Lalu si fulan pun mengatakan hal yang sama. Sebagian yang lain menyebutkan begini dan begitu.

Sebagian ulama qira-at membacanya dengan bunyi “idz taliquunahu bi alsinatakum”. Dalam shahiih al-bukhari dari ‘Aisyah bahwasannya ia membacanya sperti itu. Kemudian ‘Aisyah berkata: hal itu dari kata walqu allissaani artinya lisan yang dusta, dimana si pemilik lisan tersebut terus-menerus berdusta dengannya. Ungkapan orang-orang Arab: walaqa fulaanun fii as-sairi artinya ia terus-menerus dalam perjalanannya. Cara baca yang pertama (yakni, idz talaqqaunahu bi alsinatukum) lebih masyhur dan berdasarkan pendapat jumhur ulama qira-ah. Sedangkan yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah RA.

“Dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun juga,” tegasnya, kamu mengatakan sesuatu yang tidak pernah kamu ketahui. Allah melanjutkan firman-Nya, “Dan kamu menganggap sesuatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” Maksudnya, kamu sekalian dengan ringannya mengatakan sesuatu perkataan kotor menyangkut pribadi Ummul Mukminin dan kamu menganggap itu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Seandainya ucapan itu bukan menyangkut pribadi istri Nabi, itu pun tidak bisa dianggap remeh. Apalagi yang kamu sekalian gunjingkan ini menyangkut pribadi istri Nabi, Nabi yang ummi, penutup semua Nabi.

Sungguh, menurut pandangan Allah, ucapan yang berintikan tuduhan kepada istri Rasul, merupakan persoalan besar dan amat besar! Karena kecemburuan Allah sangat besar terhadap hal ini. Allah tidak pernah menakdirkan satupun dari istri para Nabi yang melakukan perbuatan nista. Istri-istri para Nabi tidak pernah melakukan perzinahan lalu bagaimana hal ini terjadi pada pemimpin istri-istri para Nabi, yakni istrinya pemimpin para Nabi sekaligus istri pemimpin manusia seluruhnya di dunia dan di akhirat? Oleh karena itu Allah SWT berfirman, “Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia di sisi Allah adalah besar.”

Termaktub di dalam kitab shahiih al-Bukhari dan shahiih Muslim sebuah hadits,

“Sungguh seorang hamba mengucapkan satu kata yang menyebabkan kemurkaan Allah, ia tidak tahu sampai di mana akibat buruknya. Dengan kalimat itu mengakibatkan ia terjerumus ke dalam Neraka, lebih jauh antara jarak langit dan bumi.” Dalam satu riwayat: “Yang tidak terpikirkan olehnya baik dan buruknya.”

وَلَوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ قُلۡتُم مَّا يَكُونُ لَنَآ أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبۡحَٰنَكَ هَٰذَا بُهۡتَٰنٌ عَظِيمٞ ١٦ يَعِظُكُمُ ٱللَّهُ أَن تَعُودُواْ لِمِثۡلِهِۦٓ أَبَدًا إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٧ وَيُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۚ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ>

“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar.” (QS.24: 16)

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS.24: 17)

“Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.24: 18)

Rangkaian ayat ini menjelaskan pelajaran lain, yaitu memerintahkan agar berprasangka yang baik. Artinya, jika ada ungkapan yang kurang layak dialamatkan kepada pribadi orang-orang utama, maka sepatutnya kita berprasangka baik dahulu terhadap mereka dan jangan sekali-kali kita menanamkan perasaan apa-apa di hati selain berprasangka baik. Selanjutnya, bila di hati kita terdetik suatu bisikan atau lamunan yang mengarah kepada prasangka buruk, maka seyogyanya kita tidak mengungkapkannya. Karena Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah memberikan maaf untuk ummatku atas apa yang dikatakan hatinya selama belum diucapkan atau belum dilaksanakan.”

Hadits ini diriwayatkan oleh imam al- Bukhari dan imam Muslim di dalam kitab mereka ash-Shahiibain.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu:’Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita mengatakan ini,” Maksudnya, tidaklah pantas bagi kita mengungkapkan dan mengatakan hal ini kepada siapapun. _“Maha Suci Engkau,ini adalah kebohongan yang nyata.”_Maksudnya, Maha suci Allah, jika ucapan seperti ini mengarah kepada istri Rasul yang merupakan istri dari kekasih Allah.

Kemudian Allah meneruskan firman-Nya “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali berbuat seperti itu selama-selamanya,” maksudnya, Allah melarang sekaligus mengancam agar tidak melakukan kesalahan yang sama selama-lamanya, “Jika kamu orang yang beriman.” Maksudnya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan syari’at-Nya dan mengagungkan Rasul-Nya. Adapun bagi mereka yang kufur atau memiliki sifat kekafiran, maka mereka memiliki hukum yang lain.

Firman-Nya, “Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu,” maksudnya menjelaskan kepada kalian hukum-hukum syara’ dan hikmah-hikmah dari ketetapan-ketetapan Allah. “Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” maksudnya Maha Mengetahui apa saja yang menjadi maslahat bagi hamba-hamba-Nya

Ketika kasus ini merebak rosululloh menanyakan pada Zainab binti Jahsy (salah seorang Ummahatul-Mukminin)

“Wahai Zaenab apakah yang engkau ketahui?Zaenab menjawab “Wahai Rasulullah, aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah aku tidak tahu selain kebaikan. Padahal Zainab merupakan rival terberat Aisyah,memang demikianlah keadaan para istri istri nabi, jalinan kasih sayang lebih mendominasi hubungan antar mereka.Tidak satupun istri istri Nabi yang memendam kejahatan pada yang lain. Kedudukan mereka di sisi Allah sangat mulia, kedudukan mereka di hati nabi sangatlah kuat dan posisi mereka di tengah-tengah kaum mu’minin begitu mulia. Apabila terjadi permasalahan antara mereka tidaklah menetap di dalam hati. Paling hanya sesaat dan kemudian cepat berlalu seperti angin berhembus atau seperti awan di musim panas yang cepat hilang. Dan setelah itu kembali diwarnai cinta dan ketulusan. Seperti diungkapkan Aisyah RA “Sungguh betapa indah ketakqwa’an itu ia tidak menyisakan ruang pelampiasan bagi orang yang marah.

Topik :
Muslimah