Harmoni Kepak Sayap Merpati Part I
Harmonilah yang mengantarkan burung-burung putih pergi pagi, pulang sore hari. Hanya ada satu tuju: memenuhi sunnatullah, mematuhi ketentuan Illahi Rabbi. Kepak sayap kanan dan kirinya serasi, tak saling mendahului. Bahkan udara dan matahari tak saling iri hati, tidak pula merasa paling berjasa mengantar merpati. Satu tujuan, semua dalam sinergi.
Demikian ayat-ayat kauni-Nya di muka bumi. Pun dalam kitab suci dan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tebaran kisah mengenai keserasian dan keselarasan tak kurang-kurangnya membisiki hati yang kembali. Panduan langit bagi yang mendamba harmonisasi keluarga hingga ke surga-Nya nanti.
Harmoni dalam ketakwaan dan selaksa perjuangan
“(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama orang-orang sholih dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak cucunya.” (Q.S. Ar-Ra’du: 23)
Ya, satu keluarga bisa masuk surga bersama.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan lebih dalam makna ayat ini:
“Allah mengumpulkan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai di dalam surga, yaitu orangtua, istri, dan anak keturunan mereka yang mukmin dan layak masuk surga. Sampai-sampai, Allah mengangkat derajat yang rendah menjadi tinggi tanpa mengurangi derajat keluarga yang tinggi (agar berkumpul di surga yang sama-pent).”
Betapa manis buah dari harmoni.
Namun, tak semua yang harmonis berbuah manis. Dalam surat Ar-Ra’du ayat 23 di atas, Allah mencantumkan klausa mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh. Pun dalam tafsir, Ibnu Katsir menekankan frasa yang mukmin dan layak masuk surga. Kekompakan dan keselarasan itu haruslah meniti panduan Nabawi, bukan harmoni dalam kemaksiatan sebagaimana milik pasangan serasi yang dilaknati:
“Tabbat yadaa abii lahabiwwatab… wamroatuhu…” Celakalah kedua tangan Abu Lahab dan binasalah ia… serta istrinya. Dalam Taisir al Karim ar Rahman dijelaskan, Abu Lahab adalah salah satu paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat memusuhi Nabi dan suka menyakiti beliau. Oleh sebab itulah, Allah mencelanya dengan celaan yang sangat keras yang akan berbuah kehinaan baginya hingga hari kiamat tiba. Permusuhan yang keras pun dilakukan oleh istri Abu Lahab. Bersama suaminya, dia bahu membahu melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Dia berusaha sekuat tenaga menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dia “berhasil” menumpuk-numpuk dosa di punggungnya laksana orang yang memanggul kayu bakar.
Kita belajar dari kisah sepasang kekasih, Abu Lahab dan istrinya, bahwa tidak ada kasih sayang yang lebih besar dari kasih sayang Allah dan rasul-Nya yang telah memberi peringatan agar diri kita dan keluarga selamat dari neraka.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim, 6)
Allah memerintahkan kita untuk senantiasa memelihara diri seraya meraih tangan pasangan dan anak-anak agar tak terjerumus dalam dosa. Sebab, Allah sungguh tahu betapa berharga arti keluarga bagi kita. Tidak ada di antara kita yang ingin keluarga kita tersakiti bahkan oleh pecahan beling sekalipun.
Namun, hal tersebut amat tak mungkin diusahakan oleh salah satu pihak saja.
Tengoklah kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth alaihissalam. Hanya karena ego, istri mereka menolak ajakan kebaikan dan justru menjadi duri dalam misi penting yang diemban suaminya. Adakah yang lebih jahat dari istri yang mengkhianati dakwah sang suami? Sungguh, di hari pembalasan kelak, tak ada yang dapat menolong sama sekali bahkan meski sang suami adalah nabi.
Lihatlah Fir’aun, pendosa paling dzalim yang mengoyak harmoni keluarganya sendiri padahal sang istri adalah satu dari empat wanita terkemuka di dunia dan di akhirat nanti. Dengarlah duka Asiyah di tengah beratnya siksaan dari pasangan hidupnya kala mempertahankan iman. Di dalam kemewahan istana dan gelimang harta suaminya, ia memohon rumah, bayt, yang nyaman untuk beristirahat di surga. Kelak Firaun tak sedikit pun mencium harum taman di bayt surga istrinya. Sebab ia jauh, terlalu jauh di kerak neraka.
Kisah-kisah tersebut dibahas dalam salah satu modul pembelajaran Akademi Keluarga Parenting Nabawiyah. Pasangan Nabi Nuh dan Nabi Luth tidak harmoni dengan sebab فَخَانَتَاهُمَا ; kedua istri itu berkhianat kepada suaminya, tidak sejalan dengan risalah yang diemban suami masing-masing. Sebagai pembanding, Allah menyebut bahwa kedua suami adalah suami yang sholih. Artinya, dua istri tersebut bukan istri yang sholihah. Adapun ketidakharmonisan Asiyah dengan Firaun disebabkan perilaku dzalim suami dan komunitas pergaulan suami di lingkungan yang buruk. Hal itu disebutkan dalam doa sang istri,
“Dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” ( Q.S. At Tahrim, 11 )
Kesimpulannya, ketidakharmonisan bisa hilang sama sekali disebabkan oleh kerusakan yang dilakukan oleh pasangan. Kerusakan itu berupa pengkhianatan terhadap risalah kebaikan yang diemban pasangan, kedzaliman pasangan, atau pergaulan yang salah. Sebagai penutup sub pembahasan ini, izinkan saya mengutip nasihat guru saya, Ustadzah Poppy Yuditya hafizhahallah, dalam buku Catatan Hati Ibu.
“Mari kita mulai berpikir dan mengukur diri. Sudah baik kah saya sehingga saya pantas dapat pasangan yang baik? Ketika sudah memiliki pasangan yang baik. Mampukah kita untuk menjaga kebaikan kita sehingga kita tetap “pantas” untuk bersanding dengannya?
…
Ada kalanya kita menghadapi banyak ombak untuk mempertahankan bahtera rumah tangga. Entah karena keegoisan diri, kecemburuan yang tidak pada tempatnya, atau bahkan yang lebih sulit adalah ketidakseimbangan dalam proses “mendekati” Allah yang mengakibatkan visi misi rumah tangga pun bisa jadi berubah dan terasa tak sejalan. Ketika sang suami makin sholih, didik dan ajak serta gandenglah istri tercinta untuk mengikuti kesholihannya. Ketika sang istri makin sholihah, ajak dan gandeng dengan mesra sang suami untuk bersama makin dekat dengan Allah sehingga bisa selalu seiring sejalan.
…
Pasangan makin baik, kejar kebaikannya hingga kita selalu pantas bersamanya. Pasangan makin sholih, raih tangannya, jangan sampai tertinggal jadi orang sholih. Ukur diri, bertaubat, perbaiki, dan berproses menjadi lebih baik tiap waktu. Mendekat dan makin dekat pada Allah.[1]
Referensi:
Al Baghawi, Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud. 2002. Tafsir Al Baghawi (Ma’alim At Tanzil). Beirut: Daaru Ibnu Hazm
As Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. tt. Taisir Al Karim Ar Rahman fii Tafsiri Kalam Al Mannan. Riyadh: Daarussalam.
Ashari, Budi. 2012. Ke Manakah Kulabuhkan Hati ini. Depok: Pustaka Nabawiyyah
__________. 2019. Sentuhan Parenting. Depok: Pustaka Nabawiyyah
“Modul Akademi Keluarga Parenting Nabawiyyah”. 2017.
Yuditya, Poppy. 2017. Catatan Hati Ibu. Depok: Pustaka Nabawiyyah