Harmoni Kepak Sayap Merpati Part II
Harmonilah yang mengantarkan burung-burung putih pergi pagi, pulang sore hari. Hanya ada satu tuju: memenuhi sunnatullah, mematuhi ketentuan Illahi Rabbi. Kepak sayap kanan dan kirinya serasi, tak saling mendahului. Bahkan udara dan matahari tak saling iri hati, tidak pula merasa paling berjasa mengantar merpati. Satu tujuan, semua dalam sinergi.
Demikian ayat-ayat kauni-Nya di muka bumi. Pun dalam kitab suci dan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tebaran kisah mengenai keserasian dan keselarasan tak kurang-kurangnya membisiki hati yang kembali. Panduan langit bagi yang mendamba harmonisasi keluarga hingga ke surga-Nya nanti.
Harmoni dalam peran dan senarai tanggung jawab
Selain iman dan ketakwaan, hal penting yang patut terus disemai dan dipelihara adalah harmoni dalam menjalankan peran. Sebelumnya, tak lah sampai harmonisasi dalam bahtera rumah tangga, kecuali telah kita buang jauh iri hati atas fitrah berbeda yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya yang laki-laki dan yang perempuan. Pun tidaklah dapat kita menjauhkan dengki di hati atas perbedaan itu, kecuali jika kita memahami bahwa Allah-lah yang lebih tahu tentang pembagian tugas laki-laki dan perempuan untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka sendiri.
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada Sebagian kamu terhadap Sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah Sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An Nisa, 32)
Mendalami lebih lanjut subpembahasan kedua ini, izinkan saya mengambil faedah dari guru saya yang lain, seorang pakar sejarah dan pendidikan Islam, Ustadz Budi Ashari hafizhahullah. Dengan menghimpun berbagai sumber dari Qur’an, sunnah, serta perkataan ulama, beliau menyimpulkan konsep peran pasangan harmonis dengan perumpamaan yang menarik: suami setegar pilar dan istri setenang malam.
Induk utama konsep tersebut adalah surat An Nisa ayat 34.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan Sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang sholih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (Q.S. An-Nisa, 34) Ayat di atas membahas berbagai pelajaran mahal mengenai keluarga. Di antaranya adalah tema-tema berikut:
1. qowwamah suami di atas istri
2. syarat qowwamah sekaligus tugas utama suami
3. istri yang harus shalihah
4. ciri istri shalihah
5. penjagaan istri atas dirinya yang akan berbalas dengan penjagaan Allah terhadap suaminya di luar rumahnya.
Qawwamah suami atas istrinya menjadi mukaddimah dari sub-sub bahasan yang berada di bawahnya. Dengan demikian, betapa luar biasa peran kepemimpinan yang baik pada diri seorang suami. Pun tak kalah pentingnya bagi istri menjalani perannya dan memahami posisinya di hadapan qowwamah sang suami. Demikianlah salah satu solusi atas bengkoknya tatanan keluarga yang hari ini terhantam rusaknya zaman lagi terombang-ambing di tengah ombak ajaran yang jauh dari Islam.
Ustadz Budi Ashari memaparkan, seluruh penjelasan ulama mengenai kata “qowwam” dalam ayat tersebut cukup menjadi perenungan bagi para suami dan semua laki-laki yang akan menjadi kepala rumah tangga. Qowwamah tidak sesederhana yang dibayangkan. Tidak seumum kata kepemimpinan yang telah terkoyak maknanya hari ini. Dalam buku Ke Manakah Kulabuhkan Hati Ini? Beliau menjabarkan qowwamah dengan cukup rinci.
Qowwamah bagi suami adalah kewajiban menjadi pilar kokoh. Tempat bersandar yang tegar. Tempat penopang yang menjamin tidak robohnya bangunan rumah keluarga. Tempat kenyamanan bagi semua penghuni rumah.
Qowwamah bagi suami adalah kewajiban menjadi sumber nafkah untuk keberlangsungan. Nafkah yang memberi fasilitas hidup dan ketenangan bagi seluruh anggota rumah. Suami adalah ladang yang lapang nan hijau bagi merumputnya semua gembala.
Qowwamah bagi suami adalah kewajiban menjadi pemimpin dengan semua makna kepemimpinan. Merencanakan, mengatur, menjaga, memperhatikan, dan sebagainya. Dengan tugas ini, suami harus menyediakan waktunya 24 jam, kapan saja untuk semua keperluan rakyatnya.
Qowwamah bagi suami adalah kewajiban perihal keadilan dan keseimbangan. Adil dan seimbang mengharuskan jiwa yang tenang, tidak emosional, berada di tengah, bertindak hanya dengan bukti dan data. Tidak memutuskan kecuali dengan ilmu.
Qowwamah bagi suami adalah kewajiban menjadi pendidik. Keteladanan dan ilmu merupakan mata air deras lagi menyejukkan yang harus dimiliki oleh suami, sang guru. Pendidik tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga memberi keteladanan atas aplikasi ilmu tersebut. Juga mengevaluasi atas keberhasilan pendidikannya. Meluruskan jika ada yang bengkok dengan jiwa seorang pendidik murni. Terus mengawalnya hingga menghasilkan lulusan membanggakan.
Sebesar inilah tugas kaum laki-laki. Tidak sesederhana orang yang mengeluarkan kata cinta dari lisan yang tak bertulang itu. Oleh karena itu, seharusnya setiap suami benar-benar “memaksakan” dirinya menuju seluruh sifat di atas. Demikian juga setiap anak laki-laki harus dilahirkan dididik hingga mampu menjadi qowwam bagi istrinya.
Inilah qowwamah yang harus dipertanggungjawabkan para suami di hadapan Allah kelak!
Ringkasnya, sebagaimana disebutkan Imam Al Baghawi, kata qawwamah lebih dalam dari kata qayyim dalam surat An Nisa ayat 34 artinya
“Orang yang bertanggung jawab memenuhi maslahat-maslahat pasangan (terutama nafkah), mengatur urusan (rumah tangga), dan mengajarkan adab (kepada keluarga).”
Adapun dalam Q.S. An-Nisa 34, istri yang layak mendampingi sang qawwam, calon ibu yang kelak menjadi rahim gemilangnya peradaban adalah.. “wanita yang sholih, yaitu yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”
Apabila dijabarkan, kriteria isteri dalam ayat itu adalah taat kepada Allah, taat kepada suami, ikhlas dalam ketaatannya, menjaga diri dan cintanya saat suami tidak ada, serta menjaga harta suami dengan baik. Semuanya terkemas dalam satu kata: sholihah. Sholihah adalah kriteria utama yang wajib ada dalam diri seorang istri dan ibu. Dengan demikian, upaya seorang wanita untuk terus memperbaiki diri hingga layak disebut sholihah patut terus ditingkatkan dan didukung oleh pasangannya.
Mari kita meneladani ummahatul mukminin, sosok-sosok istri terbaik yang mendampingi manusia terbaik. Bunda Khadijah radhiyallahu ‘anha salah satunya. “Aku dikaruniai cintanya,” sabda penuh cinta dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam saat mengenang Khadijah. Sirah beliau mengajari kita kemampuan menyelaraskan dirinya dengan suami yang merupakan orang paling mulia di muka bumi. Dengarkanlah lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur lebih dalam tentang kekasihnya,
“Allah tidak menggantikannya dengan seorang wanita pun yang lebih baik darinya. Dirinya beriman kepadaku tatkala manusia mengingkariku, dia mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku, dirinya telah mengorbankan seluruh hartanya manakala orang lain mencegahnya dariku, dan dengannya Allah memberiku rezeki anak tatkala hal itu tidak diberikan kepada istri-istriku yang lainnya.” (H.R. Ahmad)
Setidaknya, ada tiga kata kunci yang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam maksud dalam hadits di atas: mendukung tugas mulia suami, menjadi tempat berlabuhnya suami saat sedang tidak nyaman di luar sana, dan menyuguhkan anak-anak yang menyejukkan pandangan mata bagi suami.
Dalam buku Sentuhan Parenting, Ustadz Budi Ashari menuliskan pentingnya peran istri bagi suami hingga Allah pun dalam Al Qur’an memberikan isyarat ringan namun mendalam mengenai hal ini. Terdapat empat ayat yang mencantumkan kata لِتَسْكُنُوا, (agar kalian merasa tenang) Pertama adalah ayat ke-21 surat Ar Rum yang sangat familiar dalam acara-acara pernikahan,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Ayat pertama tersebut berbicara tentang keluarga. Allah menyampaikan kepada suami tentang istri yang diciptakan dari diri sang suami, sebagaimana Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Istri hendaknya bisa memberikan kepada suaminya ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Menariknya, dalam ayat kedua, ketiga, dan keempat, kata litaskunu digunakan untuk berbicara tentang malam. Malam sebagai tempat istirahat dan ketenangan yang merupakan kenikmatan diberikan Allah untuk manusia. Silahkan buka surat Yunus ayat 67, Al Qashash ayat 73, dan Ghafir ayat 61.
Dengan demikian, Masya Allah, dalam kata litaskunuu (agar kalian merasa tenang), Allah menyandingkan istri dengan malam.
Duhai, mari menjadi istri setenang malam. Malam adalah saat lampu bumi dipadamkan sebagaimana istri merendahkan hati dan lisan dengan hati yang tawadhu, qana’ah, dan ridha agar teduh jiwa suaminya, agar istirahat raga yang lelah.
Malam adalah peraduan tempat merebahkan punggung sebagaimana istri menjadi tempat bersandar saat suami yang perkasa tak mampu mengangkat kepalanya karena ditundukkan berbagai beban.
Malam adalah waktu yang tak mungkin tergantikan oleh siang sebagaimana istri adalah seseorang yang tak tergantikan dalam kehidupan suami. Tempat menumpahkan curahan paling dalam yang tak disampaikan bahkan kepada orangtua, kakak adik, apalagi sekadar kawan.
Malam adalah waktu yang istimewa, sepertiganya saja istimewa. Begitulah istri, sepenggalnya saja istimewa. Barangkali tak secerdas orang lain dalam bertukar pikiran. Mungkin tak sehebat teman dalam merencanakan. Namun, dalam diri istri ada keberkahan dan rahmat yang tak terbayar harganya.
Malam adalah musim semi. Indah dan menyejukkan. Air mata seorang lelaki yang disegani bisa meleleh di pangkuan istri. Menangis bak anak kecil, padahal di luar sana ia singa sang raja. Tidak ragu, sebab istri adalah malam yang ditunggu. Malam tempat cahaya gemerlapan tanpa rasa panas dan menyilaukan.
Malam sepanjang apapun memang pasti berlalu. Namun, berlalunya malam adalah untuk menyambut pagi yang penuh berkah. Demikian pun istri. Kebersamaan istri di samping suami untuk menyongsong hari yang penuh semangat demi memenangkan pertarungan siang.
Malam akan terus memerankan dirinya. Istri akan terus meniru malam untuk mendampingi sang suami. Bahkan lebih mulia dari itu.
Referensi:
Al Baghawi, Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud. 2002. Tafsir Al Baghawi (Ma’alim At Tanzil). Beirut: Daaru Ibnu Hazm
As Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. tt. Taisir Al Karim Ar Rahman fii Tafsiri Kalam Al Mannan. Riyadh: Daarussalam.
Ashari, Budi. 2012. Ke Manakah Kulabuhkan Hati ini. Depok: Pustaka Nabawiyyah
__________. 2019. Sentuhan Parenting. Depok: Pustaka Nabawiyyah
“Modul Akademi Keluarga Parenting Nabawiyyah”. 2017.
Yuditya, Poppy. 2017. Catatan Hati Ibu. Depok: Pustaka Nabawiyyah