Hikmah Diciptakannya Bintang

Imam Bukhari dalam shahihnya mengatakan: “Imam Qatadah berkata: Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan bintang-bintang untuk 3 tujuan : sebagai perhiasan langit, pelempar syaithan, dan sebagai petunjuk. Maka barang siapa yang mena’wilkannya selain 3 hal diatas maka ia telah salah, menghilangkan kebahagiaannya dan membebani diri dengan ilmu yang tidak diketahuinya.”

Hikmah diciptakannya Bintang

Perhiasan untuk langit

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya kami Telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (QS Al Mulk: 5)

Karena manusia jika melihat langit yang terang dan bersih di malam hari tanpa ada bulan yang menerangi dan tak ada lampu yang menyinari.

Maka ia akan melihat bintang dengan keindahan yang begitu besar yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, seakan-akan ia berada ditengah hutan yang dihiasi dengan macam-macam logam perak yang mengkilap, bersinar kemerahan, atau kebiruan, dan ini semua dapat kita saksikan.

Kemudian ada pertanyaan; pada dhahir ayat diatas disebutkan bahwa bintang itu rapat atau melekat dengan langit, apakah itu benar?

Jawabannya: tidak benar jika bintang itu melekat atau rapat dengan langit, karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (QS Al Anbiya’: 33), Yusabbihun maksudnya beredar di dalam garis edarnya.

Kemudian jika dikatakan: “Kami telah hiasi langit dunia” bukankah ini menunjukkan kerekatan pada langit?

Kita katakan: menghiasi sesuatu atas sesuatu yang lain tidaklah harus merekat atau menempel, apakah engkau tidak melihat seorang yang menghias istana dengan lampu-lampu yang besar dan indah, tapi tidak menempel pada dindingnya.

Maka orang yang melihatnya dari kejauhan, ia melihatnya sebagai hiasan, walaupun pada dasarnya tidak menempel.

Pelempar Syaitan

Yaitu syaithan dari kalangan jin yang mencuri kabar dari langit bukan manusia, karena syaithan manusia tak dapat mencapainya, tapi syaithan jin dapat mencapainya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam (QS Shad: 37-38) (QS An Naml: 39) (QS Al Jin: 9)

Meskipun demikian syaithan tak dapat mencapai langit-langit yang lain, karena langit-langit itu terjaga, sebagaimana dalam hadist tentang isra’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “padanya terdapat pintu-pintu, tidak dapat masuk ke dalamnya kecuali dengan izin-Nya” (HR…….) dan firman Allah dalam QS Al A’raaf: 40.

Dengan demikian maka tetap bahwa bintang itu khusus di langit dunia, dan syaithan itu tidak ada kecuali di langit dunia, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, Dan Telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka. (QS As Shaffat: 6-7)

Maksud dari “Dan Kami jadikan bintang itu alat-alat pelempar syaithan” Yaitu meteor atau bintang dari api sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala_: “(Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada keluarganya: “Sesungguhnya Aku melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu khabar daripadanya, atau Aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang”._ (QS An Naml: 7),

Syihab berarti api. Dan syihab itu dilemparkan kepada syaithan tatkala mencuri pendengaran dari langit. Lihat QS Jin: 9 dan QS As Shaffat: 10.

Kemudian muncul suatu pertanyaan, jika jin itu diciptakan dari api (QS Ar Rahman: 15), maka bagaimana jin itu bisa terbakar dengan api? Tentang pertanyaan ini Imam Fakhrur Razy mengatakan bahwa api itu sebagian lebih kuat dari sebagian yang lain, maka yang kuat menang daripada yang lemah.

Sebagaimana dalam ayat yang lain: “Dan Kami siapkan bagi mereka azab yang pedih” kata as-Sa’ir berarti api yang sangat panas, kemudian telah diketahui bahwa api itu bertingkat-tingkat, sebagian lebih kuat dari sebagian yang lain, dan ini adalah perkara yang dapat diindera, sungguh sebagian alat yang terbuat dari besi dapat dilunakkan dengan alat yang terbuat dari besi juga, besi yang lebih kuat dapat memecahkannya.[1]

Sebagai petunjuk

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk. (QS An Nahl: 15-16)

Hikmah yang ketiga ini sekaligus menjadi bantahan kepada penyembah bintang, karena bintang hanya diciptakan sebagai petunjuk di kegelapan darat dan laut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (kami) kepada orang-orang yang Mengetahui. (QS Al An’am: 97)

Tatkala manusia tersesat dan bingung dalam perjalanan, maka Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan bintang sebagai petunjuk jalan, mereka membutuhkan adanya petunjuk untuk maslahat perdagangan dan perjalanan.

Diantara bintang itu ada yang tetap dapat dilihat, dan tidak bergeser pada tempatnya, ada pula yang terus beredar, orang yang ahli dalam bidang itu akan tahu peredarannya, dan tahu arah dan waktu.

Kemudian ayat diatas dan semisalnya menunjukkan atas masyru’iyah mempelajari ilmu perbintangan dan peredarannya yang dinamakan dengan Ilmu Tasyir.

Dhahir ayat diatas menunjukkan bahwa hikmah diciptakannya bintang adalah sebagai petunjuk saja, tapi disana ada ayat-ayat lain yang menunjukkan akan hiknah diciptakannya bintang semisal pada QS An Nahl: 16, QS Al Mulk: 5, QS As shaffat: 6-10 dan QS Fusshilat: 12.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan dua macam tanda atau alamat yang dapat dijadikan sebagai petunjuk yaitu Ardhiyyah yaitu mencakup seluruh apa yang diciptakan Allah Subhanahu wa ta’ala diatas bumi, seperti gunung, sungai, jalan, lembah dan sebagainya kemudian Ufuqiyyah seperti dalam firman-Nya (QS An Nahl: 16)

An-Najmu adalah isim jenis yang tidak dikhususkan untuk bintang tertentu, karena setiap kaum memiliki cara tersendiri mengambil petunjuk dari bintang ini, untuk mengetahui arah kiblat, daratan, atau lautan ini termasuk dari ni’mat Allah Subhanahu wa ta’ala sebagaimana firman-Nya “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (QS Al Jatsiyah: 13)

Ilmu Bintang yang dilarang

Allah berfirman: “(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.”

Imam Ibnu Jauzi Rh berkata: “Yang mengetahui hal ghaib adalah Allah Ta’ala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, maka Dia tidak akan memberitahukan hal yang ghaib kepada seorangpun kecuali atas siapa yang diridhoiNya dari utusan-Nya, dengan sesuatu yang dikehendaki-Nya.

Ayat ini adalah dalil atas siapa yang menyangka bahwa bintang itu dapat menunjukkan hal yang ghaib maka ia telah kafir.

Ilmu bintang dibagi menjadi dua bagian yaitu pertama, Ilmu Ta’tsir. Ilmu ini diabgi menjadi tiga macam, pertama, Meyakini bahwa bintang itulah yang menciptakan peristiwa dan kejahatan, ini termasuk syirik besar.

kedua, Menjadikannya sebagai sebab dengan mengambil dalil pergerakannya, perpindahan dan perubahannya bahwa akan terjadi hal ini dan itu.

Seperti mengatakan: orang ini hidupnya akan sengsara atau bahagia karena ia dilahirkan pada bintang ini, maka yang demikian ini adalah kufur serta mendustakan al-Quran (QS An Naml: 65)

ketiga, Meyakini bintang itu adalah sebab datangnya kebaikan dan keburukan, hal ini termasuk syirik kecil.

Diantara mereka yang membenci mempelajari tentang peredaran bulan adalah Imam Qatadah, begitu juga Sufyan

Kedua, Ilmu Tasyir. Ilmu ini dibagi menjadi dua macam, pertama, Mengambil petunjuk dengan peredarannya untuk maslahat diniyah, dan inilah yang diminta, seperti menentukan arah kiblat dengan mengambil petunjuk bintang, maka disini terdapat faedah yang besar.

Kedua, Mengambil petunjuk dari peredaran bintang dalam maslahat duniawi, maka ini tidak apa-apa. Seperti menggunakannya untuk menentukan arah, seperti mengetahui kutub bumi itu di utara, yang demikian ini diperbolehkan atau mengambil petunjuk dari bintang untuk mengetahui perpindahan atau pergantian musim, atau peredaran bulan, yang demikian ini dibenci oleh sebagian salaf, dan sebagian lagi memperbolehkannya.

Adapun yang membencinya, mereka khawatir jika dikatakan: “Jika bintang ini muncul, maka musim hujan atau kemarau telah datang, atau sebagian lagi meyakini bahwa bintang itulah yang menimbulkan rasa dingin, panas, atau bertiupnya angin’.

Dan yang shahih adalah tidak apa-apa mempelajari tempat perputaran bulan, kecuali jika mempelajarinya untuk menyandarkan padanya turunnya hujan, datangnya musim dingin, dan meyakini bahwa bintang itulah yang menyebabkan itu semua, maka ini termasuk dari macam syirik.

Adapun jika sekedar mengetahui waktu, apakah musim semi, kemarau, atau hujan, maka ini tidak apa-apa.

Mengambil petunjuk dari bintang untuk mengetahui arah dalam safar di darat atau laut, maka ini diperbolehkan mempelajarinya, dan termasuk dari ni’mat Allah Ta’ala. (QS Al An’am: 97)

Ibnu Rajab rh mengatakan: “Yang dimaksud mempelajarinya adalah ilmu Tasyir bukan Ta’tsir, karena sesungguhnya ilmu Ta’tsir itu batil, haram sedikit atau banyak, adapun ilmu Tasyir, jika dibutuhkan mempelajarinya untuk mengetahui arah kiblat, jalan, maka diperbolehkan menurut jumhur, begitu juga mempelajari tempat berputarnya matahari dan bulan untuk mengetahui arah kiblat, dan waktu-waktu shalat serta pergantian musim. []

Topik :
Tafsir

Terkait