Menimbang Singgasana Perempuan
Dapur, sumur, kasur telah lama menjadi penjara bagi perempuan yang silap akan rahasia besar penciptaan dirinya.
Kesetaraan gender dibela oleh mereka yang luput dari hikmah agung di balik perbedaan laki-laki dan perempuan.
Family phobia pun lahir atas ketakutan mereka yang tak memahami harmonisasi peran suami dan istri, ayah dan ibu.
Ketergelinciran itu terjadi di kalangan barat saja? Tidak. Banyak yang mengaku muslim, namun menganut konsep demikian bahkan menyuarakannya sebagai bagian dari Islam.
Apakah serpih-serpih konsep itu hanya tercermin dalam diri muslim yang sengaja mengadopsi pemikiran barat?
Belum tentu. Perhatikan rumah kita, bilik kita. Bagaimana laku kita di hadapan qawwamah sang suami? Sejauh mana peran kita sebagai ibu generasi?
Duhai perempuan dalam dekapan Islam, Qur’an hadir di pangkuan ummat ini dengan kisah dalam dua pertiga bagian.
Dalam dua pertiga itu, tak sedikit kisah-kisah perempuan dengan lembut dituturkan agar kita fikirkan.
Tentu tak semata kebetulan potret-potret itu dihadirkan. Adakah kita mentadabburi peran perempuan yang dikisahkan dalam Al Qur’an?
Setidaknya, sebanyak 21 perempuan disebut dalam kitab suci kita. Yang kafir dan yang beriman.
Yang membangkang dan yang taat. Yang terlaknat dan yang mendapat rahmat. Yang mengurai. Yang menggugat. Yang menyerahkan diri.
Semuanya terangkum secara umum dalam empat peran: istri, ibu, pribadi, dan sosial.
Peran apa yang paling banyak dikisahkan? Istri. Ya, peran sebagai istri, baru kemudian peran ibu, peran pribadi, dan yang terakhir adalah peran sosial.
Jika peran istri begitu disorot dalam Al-Qur’an, tentu itu bukanlah kebetulan. Sekali lagi, tak ada yang kebetulan dalam Al Qur’an.
Seorang perempuan harus segera menyelesaikan dan beranjak dari urusan pribadinya untuk mengisi tangki jiwa suaminya. Di situlah kunci kokohnya generasi dan gemilangnya peradaban.
Betapa mulia dan krusialnya peran perempuan dalam Islam. Jika kita membedah sejarah kebesaran Islam dengan worldview yang tepat, akan kita temukan betapa dibutuhkannya sosok perempuan di rumah untuk menjaga keseimbangan tatanan sosial.
Bukan berarti Islam melarang perempuan berkontribusi di tengah masyarakat. Tidak. Namun, lihatlah dan ukurlah prioritas serta proporsinya.
Banyak yang kelewat salah menilai Islam dan kitab sucinya merendahkan martabat perempuan. Hal tersebut adalah salah kaprah yang amat disayangkan.
Al Qur’an bukan untuk dihakimi dan dinilai dengan dangkalnya akal. Al Qur’an lah yang menghakimi dan menilai suatu urusan agar dengan iman, menjadi tinggilah akal budi seorang insan.
Timbangan makna yang benar dan salah adalah Al Qur’an. Sebab ridho Allah adalah tolak ukurnya, siapa memimpin dan siapa dipimpin bukanlah parameter kemenangan. Yang paling mulia adalah yang paling bertakwa.
Harmonisasi peran, bukan kesetaraan gender.
Mari, Muslimah! Dari akhir kita bermula. Dari yang abadi, bukan yang fana. Negeri akhirat tujuan mulia.