Muhasabah Menurut Ibnu Qoyyim
Perumpaan muhasabah seorang hamba adalah sebagaimana seseorang yang tengah melakukan sebuah perjalanan (Safar). Seorang musafir harus merencanakan sesuatu sebelum memulai perjalanannya. Dia harus memikirkan rute perjalanan, perbekalan sampai tempat singgah sementara (Shelter) sebelum dia sampai ke tempat tujuan akhir dari perjalanannya.
Seorang musafir akan menemukan hal-hal yang baru di perjalanannya. Baik yang sudah terduga atau yang belum. Sesuatu yang bermanfaat baginya atau bahkan sesuatu yang akan membahayakannya. Adapun seorang mukmin, hakikatnya adalah seorang musafir yang tengah melakukan perjalanan menuju kampung akhirat.
Oleh karena itu, hendaknya dia mengingat firman Allah Subhanahu wata’ala yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (Q.S Al-Hasyr: 18).
Seorang mukmin harus mengetahui apa yang telah dia perbuat untuk hari esoknya, sehingga mengharuskan dia bermuhasabah, mengevaluasi dan menginstropeksi diri. Apakah itu bermanfaat baginya atau hanya membuatnya semakin terbebani dalam melakukan perjalanannya menuju Allah Subhanahu wata’ala.
TINGKATAN MUHASABAH
Dalam kitab Madarijus Salikin, Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah memaparkan tentang tingkatan-tingkatan muhasabah seorang hamba menjadi 3 tingkatan :
1. Membandingkan Antara Nikmat-Nya dan Perbuatan Buruknya
Maksud dari membandingkan antara nikmat-Nya dan perbuatan buruknya adalah hendaknya seorang hamba mengetahui apa saja yang berasal dari Allah dan apa saja yang berasal dari dirinya. Sehingga dengan itu, dia tahu bahwa eksistensi dirinya adalah sebuah kemurahan dan rahmat dari Allah atau hanya kehinaan dan kesengsaraan.
Dengan perbandingan yang dilakukannya ini, maka seorang hamba menjadi tahu bahwa Rabb adalah Rabb dan hamba tetap lah hamba. Menjadi jelas hakikat diri (hamba) dan sifat-sifatnya, keagungan rububiyah-Nya, kesempurnaan-Nya dan keutamaan-Nya. Seorang hamba juga akan memahami bahwa setiap nikmat-Nya adalah suatu keutamaan dan setiap amarah-Nya adalah suatu keadilan.
Kemudian seorang hamba hendaknya membandingkan antara kebaikan dan keburukan, sehingga dia tahu, manakah di antara keduanya yang lebih banyak dan lebih sering dia perbuat. Dan perbandingan ini sangat berat dilakukan oleh seorang hamba, kecuali dia mempunyai 3 hal ini:
1. Cahaya Hikmah
Ini adalah ilmu yang digunakan oleh seorang hamba dalam membedakan antara benar dan salah, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan bahaya, sempurna dan kurang, baik dan buruk.
Dengannya seorang hamba juga melihat kedudukan suatu amalan, mana yang patut didahulukan dan diakhirkan, mana yang diterima dan ditolak. Semakin banyak seorang hamba memiliki cahaya hikmah ini, maka semakin sempurna juga seorang hamba dalam melakukan muhasabah pada tingkatan ini.
2. Su’uzhan Kepada Diri Sendiri
Su’uzhan kepada diri sendiri ini adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh seorang hamba dalam bermuhasabah. Karena jika seorang hamba hanya mengedepankan husnuzhan kepada dirinya, ini akan mencegah dirinya dalam memeriksa kesalahan yang ada pada dirinya dan hal-hal buruk yang tercampur dalam dirinya.
Maka dia akan melihat kesalahan pada dirinya sebagai suatu kebaikan, sebuah aib sebagai suatu yang sempurna. Karena seorang yang sudah jatuh cinta kepada sesuatu, akan melihat kepada yang dicintainya dengan cara seperti itu.
Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah sya’ir:
Mata keridhoan memandang setiap aib sebagai tanpa cela, sebagaimana mata kebencian hanya akan menampakan segala sesuatunya sebagai suatu yang cacat.
3. Bisa Membedakan Antara Nikmat dan Fitnah
Seorang hamba harus bisa membedakan mana yang merupakan kenikmatan hakiki dan mana kenikmatan yang berujung kepada istidraj. Banyak sekali hamba yang tertipu dengan kenikmatan yang fana dan terlena dengan pujian hanya karena kebodohannya.
2. Membedakan Antara Hak dan Kewajiban
Seorang hamba harus bisa membedakan mana hak dan kewajiban baginya, yaitu berupa melaksanakan ibadah, melazimi ketaatan dan menjauhi maksiat. Seorang hamba juga harus membedakan hak dan kewajiban dalam perkara muamalah. Dan yang merupakan hak bagi seorang hamba adalah sesuatu yang mubah menurut syariat, maka disana ada kewajiban yang harus ditunaikan dan hak yang boleh diminta. Jadi yang harus dilakukan seorang hamba adalah menunaikan kewajiban maka dia akan diberi haknya.
Banyak manusia yang salah kaprah dalam membedakan antara hak dan kewajiban dalam suatu perkara (terutama dalam beribadah dan bermuamalah), sehingga mereka bingung apakah perkara tersebut kewajiban atas diri atau hak baginya. Akhirnya berakibat pada salahnya pelaksanaan suatu perkara. Yang seharusnya perkara tersebut adalah kewajiban baginya (untuk dikerjakan atau ditinggalkan), menjadi perkara yang merupakan haknya (boleh dikerjakan atau ditinggalkan)
Contohnya adalah seseorang yang (Menganggap) beribadah dengan tidak menikah, memakan daging atau buah-buahan atau meninggalkan sesuatu yang baik dari makanan dan pakaian. Karena dia tidak bisa membedakan mana hak dan kewajiban, akhirnya dia meyakini itu semua adalah kewajiban baginya yang harus dia tinggalkan. Dia merasa dengan melaksanakan itu semua adalah sebaik-baik bentuk qurubat (pendekatan diri kepada Allah), ketaatan yang paling tinggi. Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengingkari itu semua.
Dan contoh lainnya adalah seseorang yang beribadah dengan ibadah yang bid’ah yang. Dia mengira ibadah itu dapat membawa kebaikan untuk keadaan dan prilaku. Ibadah ini harus dilakukan agar kebaikan-kebaikan ini bisa terwujud. Sehingga dia mewajibkannya, baik untuk dikerjakan atau ditinggalkan.
3. Mengetahui Antara Ketaatan yang Menjerumuskan Seorang Hamba dan Maksiat yang Dia Jelek-jelekan Dengannya Kepada Saudaranya
Puasnya seorang hamba dalam mengerjakan ketaatan adalah bukti dia hanya ber_husnuzhan_ pada dirinya, tidak tahu hakikat peribadatan dan tidak mengamalkan apa yang menjadi hak Rabbnya dan yang layak ditukar dengannya (dari ibadahnya).
Maka ini semua akan melahirkan perasaan ujub, sombong dan bencana-bencana lain yang lebih besar bahaya dari dosa-dosa besar seperti zina, minum khamr, dan lari dari peperangan. Karena puas terhadap ketaatan yang dilakukan adalah bentuk dari ketergesaan, kecerobohan dan kebodohan pada diri seseorang.
Maksud dari ini semua adalah hendaknya seorang hamba setelah melakukan ketaatan dia tidak buru-buru puas dengan apa yang dia perbuat dan yang harus dia lakukan adalah beristighfar, memohon ampun kepada Allah subhanahu wata’ala.
Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya setiap setelah melakukan ketaatan, contohnya haji, setelah malakukan wukuf di pada Arafah hendaknya para haji memohon ampunan kepada-Nya sebagaimana firman-Nya di surat Al-Baqoroh: 198-199. Juga pada surat Ali Imron: 17. Begitu juga setelah shalat fardhu.
Begitu pun ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimenangkan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam mengemban risalah-Nya. Maka turunlah surat An-Nasr: 1-3, di dalamnya juga diperintahkan untuk bertasbih dan beristighfar, yang mana surat ini ditafsirkan oleh sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sudah dekat.
KESIMPULAN
Muhasabah yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Madarijul Salikin lebih menitik beratkan kepada ma’rifah seorang hamba akan hakikat Rabbnya dan hakikat dirinya. Rabbnya adalah pangkal segala kebaikan dan dirinya adalah pangkal segala keburukan. Karena eksistensi seorang hamba hanya ada 2; karena kemurahan dan rahmat Allah atau karena kesengsaraan dan kehinaan akibat perbuatannya sendiri.
Allah berfirman pada surat Asy-Asyura ayat 30
“Dan Musibah apapun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (kesalahan-kesalahanmu)”