Puasa dan Seruan Membangun Kepedulian Sosial

Puasa adalah ibadah universal. Hal ini diisyaratkan Al-Quran, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Qs. Al-Baqarah: 183)

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa puasa sudah disyariatkan kepada umat-umat sebelum Nabi Muhammad SAW. Universalisme ibadah puasa terekam dalam sejarah yang mencatat ragam ritual puasa di berbagai masyarakat. Misalnya, pada kaum Al-Shabi’un dan para pengikut Al-Munawiyyun sebuah komunitas keagamaan kuno di Timur Tengah. Samirah Sayyid Al-Bayumi, tokoh fiqih kontemporer Mesir menyebutkan beberapa contoh puasa para Nabi dan Rasul sebelumnya, 1) Nabi Nuh berpuasa sepanjang tahun, 2) Nabi Daud berpuasa sehari dan berbuka sehari, 3) Nabi Isa berpuasa sehari dan berbuka dua hari atau lebih.

Fakta di atas sekaligus mengisyaratkan bahwa puasa merupakan mata rantai estafet agama-agama. Dalam konteks Islam, puasa menjadi bukti bahwa Islam merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya dan estafet peran para Nabi dan Rasul berjalan sepanjang sejarah manusia.

Puasa merupakan ibadah universal melintasi tradisi, agama dan kurun. Meski demikian, puasa yang disyariatkan kepada umat Islam tidak serupa dengan yang dipraktikkan masyarakat lainnya. Perbedaan pelaksanaan puasa tidak lantas menutup bertemunya nilai universal puasa sebagai simpul memperbaiki diri dan masyarakat.

Makna Teologis dan Sosiologis Puasa

Agama Islam bukan ajaran yang hanya mengurusi soal-soal vertikal berhubungan dengan Tuhan. Agama adalah perangkat aturan Tuhan untuk mengurusi persoalan-persoalan manusiawi. Islam diturunkan dengan misi menjaga kelestarian manusia (hifdzu an-nas), demikian juga puasa tidak hanya memiliki fungsi vertikal (hablun minallah), tetapi juga fungsi horizontal (hablun minannas). Makna sosiologis ini kerap luput dari pemahaman. Padahal kondisi masyarakat yang dirundung persoalan sosial, kemiskinan sampai krisi lingkungan hidup, kesadaran sosiologis ibadah puasa sangat dibutuhkan.

Capaian tertinggi puasa adalah taqwa. Namun, capaian ini tidak bermakna jika secara sosiologis tidak berdampak positif yang terkait dengan relasi atau hubungan antar manusia. Persoalan sosial yang bermunculan hakikatnya bermuara dari tidak mampunya manusia menjalani perannya sebagai individu maupun makhluk sosial.

Maka puasa hendaknya sanggup mentransformasikan dimensi teologis ke dalam dimensi sosiologis agara prestasi Taqwa dapat dimanifestasikan secara moral dan etik dalam kehidupan sosial. Ibadah puasa memang menjadi hak Tuhan, namun dalam konsekuensi moralnya menjadi tanggung jawab manusia dalam relasinya dengan manusia lain (keshalihan sosial).

Dalam ranah sosial, puasa harus menjadikan pelakunya tergerak dan berempati memberantas kemiskinan, memiliki solidaritas terhadap sesama yang masih berkekurangan. Tanpa kesadaran seperti ini, puasa hanya menjadi ritual yang berbuah haus dan lapar.

Puasa harus memberi motivasi kepada pelakunya untuk mengendalikan keinginan dan kepentingan individu. Sikap ini merupakan konsekuensi dari konsepsi Tauhid, yakni penolakan pada segala bentuk ketidakadilan, baik individual maupun sosial.

Puasa lebih identik dengan pengendalian pada persoalan yang bersifat teologis dan vertikal saja. Padahal antara makna teologis dan sosiologis memiliki prinsip yang sama: pengendalian diri. Secara teologis yang dikendalikan adalah hawa nafsu yang abstrak. Adapun secara sosiologis yang dikendalikan adalah kepentingan atau hawa nafsu yang konkret.

Topik :
Puasa

Terkait