Tafsir Surat At-Taubah Ayat 60

۞ اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ - ٦٠>

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk yang berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang di dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[1]

Ayat ini turun ketika orang-orang munafik yang bodoh itu mencela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang pembagian zakat , kemudian Allah menjelaskan bahwa Allah –lah yang mengatur pembagian zakat tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selain-Nya, tidak ada campur tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah membaginya hanya untuk mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ maksud dari ayat ini adalah zakat-zakat yang wajib, berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa ada pengkhususan.[2]

Para ulama’ berbeda pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi semuanya, atau sebatas yang memungkinkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat :

Pertama, harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’I dan sekelompok ulama’.

Kedua, tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja, meskipun terdapat kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama’ salaf dan khalaf, di antaranya, Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Said bin Zubair dan Mimun bin Mihran. Ibnu Jabir berkata, “Ini adalah pendapat sebagian besar ulama’.

Penyebutan kelompok-kelompok dalam ayat tersebut adalah untuk menjelaskan mereka yang berhak, bukan karena keharusan memenuhi semuanya.[3]

Masharif Zakat

Pertama dan kedua, لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِين

Pada dasarnya kedua keadaan tersebut adalah sama dan sejenis, akan tetapi fakir keadaannya lebih memprihatinkan dari pada miskin, sehingganya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan fakir lebih dahulu dari pada miskin dalam ayat tersebut. Di bawah ini kami akan sebutkan beberapa perbedaan dan pengertian antara fakir dan miskin.

Imam Abu Ja’far berkata : Zakat hanyalah untuk orang fakir dan miskin.

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai siapakah yang disebut dengan orang fakir dan miskin itu :

Waqi, Ibnu Jarir, As’as dan Hasan berpendapat, “Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang yang tidak punya apa-apa sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk mencukupi kehidupannya”.

Mujahid, “Fakir ialah orang tidak punya tetapi ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang tidak punya dan ia meminta-minta.[4]

Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia tidak berhijrah.[5]

Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan apa-apa, atau hanya mendapatkan sebagian kecil dari kebutuhannya.

Miskin ialah seseorang yang mendapatkan atau bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun tidak mencukupi secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang kaya.[6].

Ketiga, . الْعَامِلِين

Masharif zakat yang ketiga adalah amil zakat, yaitu orang bertugas mengelola atau mengambil zakat dari orang-orang yang berhak mengeluarkan zakat kemudian membagikannya kepada orang yang berhak pula.[7] Mereka berhak mendapatkan bagian zakat. Seorang Amil tidak boleh dari kerabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka tidak berhak menerima zakat berdasarkan hadits shahih dari yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwa ia dan Fadl bin Abbas memohon kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “ Sesunguhnya zakat itu tidak dihalalkan bagi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keluarganya. Sesungguhnya zakat itu adalah kotoran (harta) manusia.”[8]

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai kadar yang diberikan kepada amil zakat :

Dlohak ia berpendapat bahwasanya amil zakat mendapatkan seperdelapan dari zakat.

Yunus, Ibnu Wahab dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa seorang amil mendapatkan sesuai dengan kadar apa yang dikerjakannya.

Adapun pendapat yang paling shahih dan mendekati kebenaran menurut Ibnu Jarir dalam kitabnya Jami’ul Bayan adalah pendapat yang kedua, yaitu seorang amil diberikan zakat sesuai dengan kadar apa yang telah diperbuatnya.

Keempat, الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ

Yaitu orang-orang yang perlu dilunakkan hatinya kepada Islam, supaya mereka memberikan sumbangsinya kepada Islam, atau Rais kaum yang baru masuk Islam dan dia diberikan zakat supaya mereka menegetahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang benar dan shalih, dan supaya bertambah keimanannya.[9] Diantara mereka yang dilunakkan hatinya pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Sufyan bin Harb, Uyainah bin Badr dan Aqra’ bin Habis.[10]

Mereka ada tiga golongan :

Yang dilunakkan hatinya supaya masuk Islam.

Mereka yang masih lemah keislamannya atau lmannya.

Mereka yang diberi zakat untuk mencegah kejelekan yang mereka timbulkan buat kaum mukminin.[11]

Kelima, الرِّقَابِ

Yaitu budak-budak yang sedang dalam proses memerdekakan diri, atau membeli diri mereka dari majikannya. Mereka dimerdekakan dan dibantu dengan harta zakat. Diriwaytakan dari Hasan al-Bashri ,Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Said bin Zubar an-Nakha’I, az-Zuhri dan Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud dengan riqab adalah “al-Mukatib” yaitu hamba sahaya yang mengadakan perjanjian bebas.[12]

Keenam, َالْغَارِمِين

Yaitu orang yang terlilit utang tetapi bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian ia tidak bisa melunasi hutangnya tersebut. Mujahid berkata, “AlGharimin ialah orang yang terbakar rumahnya, kemudian ia berhutang untuk membangun kembali rumahnya.” Wajib bagi seorang Imam memerinya harta atau zakat dari Baitul Mal.[13]

Dalam keadaan ini ada dua golongan :

Berhutang untuk kebaikan orang yang berselisih sehingga diberi sesuai dengan kadar utangnya.

Berutang untuk pribadi, yakni menanggung banyak hutang tapi tidak mampu membayarnya.[14]

Orang yang mempunyai tanggungan denda atu hutang yang harus dipenuhi, sedangkan untuk memenuhinya ia harus menguras harta kekayaannya atau ia harus berhutang kepada orang lain, atau berhutang dan melakukan kemaksiatan lalu ia bertaubat. Maka orang yang seperti ini diberi zakat.

Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari bu Sai’d Al-Khudri ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada seseorang yang menderita banyak kerugian karena buah-buahan yang barui saja dibelinya terkena hama, hingga hutangnya menumpuk. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bersedekahlah kepadanya,” maka orang-orangpun bersadaqah kepadanya, akan tetapi tidak mencukupi untuk melunasi hutangnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada para piutang tersebut, “Ambillah apa yang kalian dapati, hanya itu saja bagaian yang kalian dapatkan. (HR. Muslim).[15]

Ketujuh, وَفِي سَبِيلِ اللَّه

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai pengertian fi sabilillah dalam ayat tersebut :

Abu Yusuf berkata, “Yang dimaksud adalah orang yang berjihad atau di dalam peperangan (mujahidin) yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dan melawan musuh-musuh-Nya.”

Muhammad, “Orang yang berhaji.”

Sebagian ulama’ berpendapat mereka adalah orang yang sedang menuntut ilmu.

Adapun yang paling mendekati kebenaran adalah setiap orang yang berusaha untuk taat kepada Allah dan orang-orang yang berada di jalan kebenaran. Wallahu ‘alam bi Shawab.[16]

Kedelapan, وَاِبْنِ السَّبِيلِ

Ialah seorang musafir di suatu negeri yang bekalnya tidak mencukupi untuk dipakai pulang ke negerinya meskipun ia orang kaya, maka ia diberi bagian zakat yang mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu pula dengan orang yang ingin bepergian, akan tetapi tidak memiliki bekal, maka ia diberi dari bagian zakat untuk perbekalannya pergi dan pulang. Namun ia tidak diperbolehkan mengambil lebih dari kebutuhannya.[17]

فَرِيضَةً مِن اللَّهِ َ Maksudnya ialah pembagian ini adalah langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diwajibkan kepada orang yang mempunyai harta dari orang Muslimin. Allah Maha Mengetahui kemaslahatan mahluknya terhadapa apa saja yang diwajibkan kepada mereka, tidak ada sesuatu Apapun yang samar bagi-Nya. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan zakat pada kaum muslimin melainkan ada maslahat di dalamnnya. Dialah Maha Bijaksana yang mengatur segala sesuatu.[18]

وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Dari kedelapan masharif zakat tersebut, bisa disimpulkan dalam dua hal :

Orang yang diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya.

Orang yang diberi zakat dengan tujuan untuk kemaslahatan bagi Islam dan muslimin.[19]

Zakat is a system designed to support Muslims and uphold Islam in society.

💰Learn more about the transformative power of Zakat here: https://t.co/zWNH3aXjua pic.twitter.com/a2oQsM9t6B

— Yaqeen Institute (@yaqeeninstitute) September 18, 2018

REFERENSI

Alqur’anul Karim.Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, Muasasah Risalah. Cetakan pertama.

Ruhul Ma’ani Sihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi jilid 6. Maktabah Taufiqiyah, Kaero Mesir.

Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4. Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wiliil Ayil Qur’an Tafsir Tobari oleh Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari jilid 5.Cetakan kedua Dar As-Salam.

Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur oleh Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi jilid 4. Dar Al-Fikr. Cetakan tahun 1414 H/ 1993 M.

Ensiklopedi Islam Al-Kamil Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri.

Topik :
Tafsir

Affiliate

Terkait